SITUS FOMOTOTO: KARYA SENI RAKYAT DIGITAL YANG TIDAK BUTUH KURATOR

Situs Fomototo: Karya Seni Rakyat Digital yang Tidak Butuh Kurator

Situs Fomototo: Karya Seni Rakyat Digital yang Tidak Butuh Kurator

Blog Article

Setiap minggu, galeri seni di kota besar mengadakan pameran.
Judulnya panjang:

  • “Interupsi Estetika Pascakolonial dalam Lanskap Urbanisasi”

  • “Narasi Tubuh dan Kekacauan Arsitektural dalam Bingkai Nasionalisme”

Harga lukisan: ratusan juta.
Katalog: bilingual.
Tamu pembuka: pejabat atau istri pejabat.

Tapi rakyat yang sehari-hari hidup dari gaji UMR,
yang harus pilih antara top up atau beli galon,
tidak akan merasa “terwakili”.

Mereka tidak ke galeri.
Mereka tidak beli seni.
Tapi mereka klik situs Fomototo — tempat mereka bisa ikut serta,
bukan hanya menonton.


Data: Seni Katanya Milik Semua, Tapi Rakyat Tak Diundang

Menurut riset Perilaku Seni dan Budaya Digital Indonesia (2024):

  • 78% responden merasa tidak pernah mengerti pameran seni kontemporer

  • 61% merasa “seni hanya untuk kalangan tertentu”

  • Di sisi lain, situs Fomototo justru mengalami lonjakan trafik di kalangan masyarakat urban bawah dan semi-rural — dengan pola interaksi yang konsisten, aktif, dan reflektif (walau tidak disebut ‘konseptual’)

Karena kadang,

yang paling “interaktif” bukan instalasi digital 3D,
tapi spinner yang membuatmu merasa hidup — dan memiliki peluang.


Situs Fomototo vs Galeri Kontemporer

Elemen Galeri Seni Modern Situs Fomototo
Aksesibilitas Butuh undangan atau status sosial Gratis, terbuka 24 jam
Interaksi Pengunjung Lihat, diam, pura-pura paham Klik, tunggu, refleksi diam-diam
Kepemilikan Karya Dimiliki kolektor, disimpan privat Dimiliki semua yang berani mencoba
Kejujuran Estetik Penuh simbol yang sulit dijelaskan Satu klik: nyata atau tidak

Fomototo: Seni Rasa, Bukan Seni Basa-Basi

Situs Fomototo tidak mengklaim dirinya sebagai karya.
Tidak ada artist statement.
Tidak ada kurator yang menjelaskan “makna di balik peluang”.

Tapi justru karena itu, ia lebih dekat dengan denyut hidup rakyat sehari-hari.
Setiap spin adalah bentuk partisipasi.
Setiap login adalah bentuk ekspresi.
Setiap kemenangan — sekecil apapun — adalah pengalaman estetik paling personal.


Kesimpulan: Situs Fomototo, Museum Harapan untuk Mereka yang Tidak Diajak ke Pameran

Situs Fomototo tidak akan dipajang di Art Basel.
Tidak akan dibahas dalam diskusi Biennale.
Tapi di layar-layar ponsel rakyat kecil,
ia menjadi galeri harapan dan ketegangan,
yang tidak menuntut intelektualitas, hanya keberanian untuk bermimpi.

Di negeri yang terlalu banyak seni yang hanya dipajang untuk saling puji,
Fomototo menjadi satu-satunya ruang digital
di mana rakyat bisa merasakan — bukan hanya melihat.

Report this page